I. Definisi
Bullying
Bullyng sering
kali terdengar di telinga masyarakat. Tapi, apakah mereka peduli dengan korban-korban
bullyng. Kenyataan yang ada bullyng malah menjadi budaya siswa sekolah. Hal
itu, dapat terjadi karena masyarakat tidak mengetahui apa itu bullyng. Mereka
hanya mendengar belaka tanpa mengetahui dampaknya. Padahal, bullyng adalah
masalah yang sudah lama terjadi hampir tiga dasawarsa namun belum ada
solusinya. Untuk itu perlu diketahui terlebih dahulu apa itu bullyng?. Agar
masalah tersebut dapat diatasi. Definisi Bullyng adalah sebagai berikut.
Bullying
berasal dari kata Bully, yaitu suatu kata yang mengacu pada pengertian adanya
“ancaman” yang dilakukan seseorang terhadap orang lain (yang umumnya lebih
lemah atau “rendah” dari pelaku), yang menimbulkan gangguan psikis bagi
korbannya (korban disebut bully boy atau bully girl) berupa stress (yang muncul
dalam bentuk gangguan fisik atau psikis, atau keduanya; misalnya susah makan,
sakit fisik, ketakutan, rendah diri, depresi, cemas, dan lainnya). Apalagi
Bully biasanya berlangsung dalam waktu yang lama (tahunan) sehingga sangat
mungkin mempengaruhi korban secara psikis. Sebenarnya selain perasaan-perasaan
di atas, seorang korban Bully juga merasa marah dan kesal dengan kejadian yang
menimpa mereka. Ada juga perasaan marah, malu dan kecewa pada diri sendiri
karena “membiarkan” kejadian tersebut mereka alami. Namun mereka tak kuasa
“menyelesaikan” hal tersebut, termasuk tidak berani untuk melaporkan pelaku
pada orang dewasa karena takut dicap penakut, tukang ngadu, atau bahkan
disalahkan. Dengan penekanan bahwa bully dilakukan oleh anak usia sekolah, perlu
dicatat bahwa salah satu karakteristik anak usia sekolah adalah adanya
egosentrisme (segala sesuatu terpusat pada dirinya) yang masih dominan.
Sehingga ketika suatu kejadian menimpa dirinya, anak masih menganggap bahwa
semua itu adalah karena dirinya.
A) Teori Bullyng
à Teori
Kriminologi Klasik
Pada
penjelasan mengenai pemikiran klasik, tingkah laku jahat yang dilakukan oleh
manusia merupakan cerminan dari adanya konsep “free will” atau kehendak
bebas. Dalam penjelasan mengenai pemikiran klasik dengan konsep free will
ini menganggap bahwa individu memiliki pilihan dan pemikiran untuk menentukan
tindakan yang akan mereka lakukan. Hukuman yang diterapkan pada pemikiran ini
bersifat umum sesuai dengan kejahatan yang dilakukan. Tokoh dalam pemikiran
klasik ini antara lain Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham
à Teori
Kekerasan
“Kekerasan bisa
dilakukan secara fisik seperti melukai, membunuh dan sejenisnya, maupun hanya
lewat kata-kata seperti mengumpat an menghina sebagai luapan rasa marah yang
sudah mencapai puncaknya kepada orang lain atau obyek kekerasan tersebut.” (Joseph, 1996).
B) Faktor Penyebab Perilaku Bullying
Menurut Egi
(dalam http://regianamanah.blogspot.com/2011/02/perilaku-bullying-pada-anak-sekolah.html)
yang bisa menyebabkan anak berperilaku bully menurut Herlina adalah perpaduan
dari faktor internal dan eksternal.
1) Faktor Internal
Secara
internal, memang setiap orang pada dasarnya memiliki kebutuhan penyataan diri
dan aggressiveness dalam dirinya, hanya kapasitasnya saja yang berbeda-beda.
Perilaku bully dapat terjadi bila kemudian faktor internal ini distimuli oleh
faktor-faktor eksternal.
Pada Workshop Nasional Anti-bullying 2008 diungkapkan bahwa salah satu penyebab seseorang menjadi pelaku bullying adalah adanya harga diri yang rendah. Harga diri adalah penilaian yang dibuat seseorang dan biasanya tetap tentang dirinya. Hal itu menyatakan sikap menyetujui atau tidak menyetujui, dan menunjukkan sejauh mana orang menganggap dirinya mampu, berarti, sukses dan berharga.
Pada Workshop Nasional Anti-bullying 2008 diungkapkan bahwa salah satu penyebab seseorang menjadi pelaku bullying adalah adanya harga diri yang rendah. Harga diri adalah penilaian yang dibuat seseorang dan biasanya tetap tentang dirinya. Hal itu menyatakan sikap menyetujui atau tidak menyetujui, dan menunjukkan sejauh mana orang menganggap dirinya mampu, berarti, sukses dan berharga.
Berbagai
perilaku menyimpang yang dilakukan anak ditengarai disebabkan oleh minimnya
pemahaman anak terhadap nilai diri yang positif. Sikap saling menghargai,
menolong, berempati, jujur, lemah lembut dan sebagainya tidak jarang hilang
dari pribadi anak. Sebaliknya, mereka justru akrab dengan hal-hal yang negatif
seperti kekerasan, kebohongan, licik, egois dan sebagainya.
Fase
perkembangan pemahaman moral anak terdiri dari 6 fase dan tingkatan itu tidak
berkorelasi dengan meningkatnya usia seseorang. Seorang anak yang memiliki pemahaman
moral yang tinggi, maka kecenderungan melakukan tindakan yang melanggar norma
seperti mengejek, memukul, menendang temannya lebih rendah. Hal ini berkaitan
dengan pemahaman moral bahwa hal-hal tersebut merupakan tindakan yang tidak
baik dan melanggar moral. Semakin seorang individu memiliki tingkat pemahaman
moral yang tinggi akan mengurangi perilaku menyimpangnya.
Harga diri
yang rendah dan pemahaman moral anak yang rendah memunculkan perilaku bullying.
Anak yang melakukan bullying pada temannya karena anak ingin mendapatkan
perhargaan dari temannya dan anak belum memahami suatu perbuatan benar
atau salah berdasarkan norma moral.
2) Faktor
Eksternal
Faktor
eksternal yang umumnya paling mempengaruhi adalah keluarga, lingkungan dan
jenis tontonan. Anak berperilaku bullying itu biasanya datang dari beberapa
macam keluarga. Pertama, keluarga yang sangat memanjakan anak. Apa pun
keinginan anak dituruti, sehingga anak merasa powerful dan bisa mengatur orang
lain. Hal ini terekam hingga pada waktu sekolah atau bergaul pun anak mencari
teman-temannya yang bisa ditindas atau dimanfaatkan. Dalam hal ini kasusnya
adalah anak menjadi over-confident atau terlalu percaya diri.
Perilaku bullying juga bisa muncul pada anak-anak yang kurang percaya diri. Hal ini bisa datang dari keluarga yang terlihat baik-baik saja, tidak ada masalah, tapi kenyataannya banyak kebutuhan-kebutuhan emosional yang tidak didapat oleh si anak, seperti perasaan disayang, diperhatikan, juga rasa dihargai. Biasanya terjadi pada keluarga yang tidak berfungsi atau broken home dimana anak memang kurang perhatian. Akibatnya anak memiliki self esteem dan self confident rendah, konsep dirinya pun negative.
Perilaku bullying juga bisa muncul pada anak-anak yang kurang percaya diri. Hal ini bisa datang dari keluarga yang terlihat baik-baik saja, tidak ada masalah, tapi kenyataannya banyak kebutuhan-kebutuhan emosional yang tidak didapat oleh si anak, seperti perasaan disayang, diperhatikan, juga rasa dihargai. Biasanya terjadi pada keluarga yang tidak berfungsi atau broken home dimana anak memang kurang perhatian. Akibatnya anak memiliki self esteem dan self confident rendah, konsep dirinya pun negative.
Faktor
lingkungan juga dapat mempengaruhi anak untuk berperilaku bully melalui
berbagai cara. Yang pertama anak bisa meniru perilaku buruk yang dilihat dari
lingkungannya yaitu baik di lingkungan rumah (perilaku kedua orang tuanya)
ataupun lingkungan sekolah (perilaku yang berasal dari teman-temannya). Selain
itu lingkungan juga dapat memberikan penguatan atau reinforcement pada anak
untuk bersikap bully. Bukan hanya itu, sebenarnya lingkungan yang mengabaikan
atau mentolerir sikap bully anak juga dapat menjadi penguat.Guru atau orangtua
yang tidak berbuat apa-apa akan membuat anak merasa bahwa tindakannya tidak
salah.
Stimulan
lainnya dari luar anak bisa datang dari jenis tontonannya. Serupa dengan contoh
dari lingkungan, anak juga memiliki kecenderungan mengimitasi apa yang
dilihatnya dari tayangan yang ditonton. Sekali lagi orangtua berperan penting
untuk benar-benar mengawasi segala tontonan anak, baik di televisi, games, film
bioskop, internet dan lain sebagainya.
C) Dampak
perilaku bullyng
Menurut Vivie
(dalam http://bundazone.com/prilaku-bermasalah/bully-dan-bullying/)
akibat dari tindakan bullying ini tidak dapat dikatakan main-main. Selain itu,
hanya mengganggu perkembangan sosial dan emosional anak mulai dari yang ringan,
sedang, hingga yang serius dan mampu berakibat pada kematian. Dampak perilaku
signifikan menurut
http://animenekoi.blogspot.com/2012/01/perilaku-bullying-pada-anak-sd.html adalah sebagai berikut:
http://animenekoi.blogspot.com/2012/01/perilaku-bullying-pada-anak-sd.html adalah sebagai berikut:
1. Prestasi
belajar menurun.
2. Phobia
sekolah.
3. Gelisah,
sulit tidur.
4. Gangguan makan.
5. Menyendiri,
mengucilkan diri.
6. Sensitive,
lekas marah.
7. Agresif ,
bersikap kasar pada orang lain (contoh : pada kakak atau adik bahkan orang
tua).
8. Depresi.
9. Hasrat
bunuh diri (Data dari Jepang dinyatakan bahwa 10% korban bullying mencoba bunuh
diri).
Menurut Admin (dalam
http://www.artiku.com/2008/05/10/stop-bullying/) bullying berdampak menurunkan
tes kecerdasan dan kemampuan analisis siswa yang menjadi korban, bahkan sampai
berusaha bunuh diri. Bullying juga berhubungan dengan meningkatnya tingkat
depresi, agresi, penurunan nilai-nilai akademik dan tindakan bunuh diri. Pelaku
bullying berpotensi tumbuh sebagai pelaku kriminal dibanding yang tidak
melakukan bullying. Tindakan ini juga masih menjadi masalah tersembunyi yang
tidak disadari oleh para pendidik dan orang tua murid.
Bullying adalah masalah kesehatan publik yang perlu
mendapatkan perhatian karena orang-orang yang menjadi korban bullying
kemungkinan akan menderita depresi dan kurang percaya diri.
Penelitian-penelitian juga menunjukkan bahwa siswa yang menjadi korban bullying
akan mengalami kesulitan dalam bergaul. Merasa takut datang ke sekolah sehingga
absensi anak tinggi dan ketinggalan pelajaran, mengalami kesulitan
berkonsentrasi dalam mengikuti pelajaran, dan kesehatan mental maupun fisik
jangka pendek maupun panjang akanterpengaruh.
Sedangkan menurut Bangu (2007: 2), anak korban bullying
sering menampakkan sikap: mengurung diri atau menjadi school phobia, minta
pindah sekolah, konsentrasi berkurang, prestasi belajar menurun, suka membawa
barang-barang tertentu (sesuai yang di minta si pelaku bullying). Anak jadi
penakut, gelisah, tidak bersemangat, menjadi pendiam, mudah sensitif,
menyendiri, menjadi kasar dan dendam, mudah cemas, mimpi buruk, melakukan
perilaku bullying kembali terhadap orang lain.
D)
Gejala/ciri-ciri Korban dan Pelaku Bullying
Ubaydillah (dalam
http://www.e-psikologi.com/epsi/artikel_detail.asp?id=528) mengungkapkan bahwa
berdasarkan penjelasan sejumlah pakar tentang korban bullying, umumnya para
korban itu memiliki ciri-ciri “ter”, misalnya: terkecil, terbodoh, terpintar,
tercantik, terkaya, dan seterusnya.
Di bukunya
Barbara Colorosa (The bully, The bullied, dan The bystander: 2004), ciri-ciri
yang terkait dengan korban itu antara lain adalah sebagai berikut:
1. Anak baru di
lingkungan itu.
2. Anak termuda
atau paling kecil di sekolah.
3. Anak yang
pernah mengalami trauma sehingga sering menghindar karena rasa takut.
4. Anak penurut
karena cemas, kurang percaya diri, atau anak yang melakukan sesuatu karena
takut dibenci atau ingin menyenangkan.
5. Anak yang
perilakunya dianggap mengganggu orang lain.
6. Anak yang
tidak mau berkelahi atau suka mengalah.
7. Anak yang
pemalu, menyembunyikan perasaannya, pendiam atau tidak mau menarik perhatian
orang lain.
8. Anak yang
paling miskin atau paling kaya.
9. Anak yang ras
atau etnisnya dipandang rendah.
10. Anak yang
orientasi gender atau seksualnya dipandang rendah.
11. Anak yang
agamanya dipandang rendah.
12. Anak yang
cerdas, berbakat, memiliki kelebihan atau beda dari yang lain.
13. Anak yang
merdeka atau liberal, tidak memedulikan status sosial, dan tidak berkompromi
dengan norma-norma.
14. Anak yang siap
mendemontrasikan emosinya setiap waktu.
15. Anak yang
gemuk atau kurus, pendek atau jangkung.
16. Anak yang
memakai kawat gigi atau kacamata.
17. Anak yang
berjerawat atau memiliki masalah kondisi kulit lainnya.
18. Anak yang memiliki
kecacatan fisik atau keterbelakangan mental.
19. Anak yang
berada di tempat yang keliru pada saat yang salah (bernasib buruk).
Sedangkan untuk para pelaku, mereka umumnya
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Suka
mendominasi anak lain.
2. Suka
memanfaatkan anak lain untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
3. Sulit melihat
situasi dari titik pandang anak lain.
4. Hanya peduli
pada keinginan dan kesenangannya sendiri, dan tak mau peduli dengan
perasaan anak lain.
5. Cenderung
melukai anak lain ketika orangtua atau orang dewasa lainnya tidak ada di
sekitar mereka.
6. Memandang
saudara-saudara atau rekan-rekan yang lebih lemah sebagai sasaran.
7. Tidak mau
bertanggung jawab atas tindakannya.
8. Tidak memiliki
pandangan terhadap masa depan atau masa bodoh terhadap akibat dari
perbuatannya.
9. Haus
perhatian.
A. Solusi terhadap Kasus Bullying
à Solusi buat
orang tua atau wali orang tua jika anaknya menjadi korban intimidasi (bullying)
di sekolah. Beberapa di
antaranya:
1. Satukan
Persepsi dengan Istri/Suami.
Sangat penting
bagi suami-istri untuk satu suara dalam menangani permasalahan yang dihadapi
anak-anak di sekolah. Karena kalau tidak, anak akan bingung, dan justru akan
semakin tertekan. Kesamaan persepsi yang dimaksud meliputi beberapa aspek,
misalnya: apakah orang tua perlu ikut campur, apakah perlu datang ke sekolah,
apakah perlu menemui orang tua pelaku intimidasi, termasuk apakah perlu lapor
ke polisi.
2. Pelajari
dan Kenali Karakter Anak .
Perlu kita
sadari, bahwa satu satu penyebab terjadinya bullying adalah karena ada anak
yang memang punya karakter yang mudah dijadikan. Dengan mengenali karakter
anak, kita akan bisa mengantisipasi berbagai potensi intimidasi yang menimpa
anak , atau setidaknya lebih cepat menemukan solusi (karena kita menjadi lebih
siap secara mental).
3. Jalin
Komunikasi dengan Anak.
Tujuannya
adalah anak akan merasa cukup nyaman (meskipun tentu saja tetap ada rasa tidak
nyaman) bercerita kepada kita sebagai orang tuanya ketika mengalami intimidasi
di sekolah. Ini menjadi kunci berbagai hal, termasuk untuk memonitor apakah
suatu kasus sudah terpecahkan atau belum.
4. Jangan
Terlalu Cepat Ikut Campur.
Idealnya,
masalah antar anak-anak bisa diselesaikan sendiri oleh mereka, termasuk di
dalamnya kasus-kasus bullying. Oleh karena itu, prioritas pertama memupuk
keberanian dan rasa percaya diri pada anak-anak kita (yang menjadi korban
intimidasi).
5. Masuklah
di Saat yang Tepat.
Jangan lupa,
bahwa seringkali anak (yang menjadi korban intimidasi) tidak senang kalau kita
(orang tuanya) turut campur. Oleh karena itu, kita mesti benar-benar
mempertimbangkan saat yang tepat ketika memutuskan untuk ikut campur
menyelesaikan masalah. Ada beberapa indikator:
(1) Kasus tertentu tak kunjung terselesaikan,
(2) Kasus yang sama terjadi berulang-ulang,
(3) Kalau kasusnya adalah pemerasan, melibatkan uang dalam jumlah cukup
besar,
(4) Ada indikasi bahwa prestasi belajar anak mulai terganggu.
6. Bicaralah
dengan Orang yang Tepat.
Jika sudah
memutuskan untuk ikut campur dalam menyelesaikan masalah, pertimbangkan
masak-masak apakah akan langsung berbicara dengan pelaku intimidasi, orang
tuanya, atau gurunya.
7. Kalau
Perlu, Intimidasilah Pelaku Intimidasi.
(1) Untuk
anak/siswa, orang tua meyakinkan psikis anak agar dia tidak merasa sendirian,
(2) Untuk pelaku intimidasi, berikan peringatan jika pelaku bertindak
melebihi batas kewajaran, (3) Untuk guru/sekolah, seharusnya dapat
menyelesaikan masalah bullyng secara damai.
8. Jangan
Ajari Anak Lari dari Masalah.
Dalam beberapa
kasus yang diceritakan teman-teman saya, anak-anak kadang merespon intimidasi
yang dialaminya di sekolah dengan minta pindah sekolah. Kalau dituruti, itu
sama saja dengan lari dari masalah. Jadi, sebisa mungkin jangan dituruti. Kalau
ada masalah di sekolah, masalah itu yang mesti diselesaikan, bukan dengan
‘lari’ ke sekolah lain. Jangan lupa, bahwa kasus-kasus bullying itu terjadi
hampir di semua sekolah.
·
Penanganan yang bisa dilakukan oleh guru:
1. Usahakan
mendapat kejelasan mengenai apa yang terjadi. Tekankan bahwa kejadian tersebut
bukan kesalahannya.
2. Bantu anak
mengatasi ketidaknyamanan yang ia rasakan, jelaskan apa yang terjadi dan
mengapa hal itu terjadi. Pastikan anda menerangkan dalam bahasa sederhana dan
mudah dimengerti anak. JANGAN PERNAH MENYALAHKAN ANAK atas tindakan bullying
yang ia alami.
3. Mintalah
bantuan pihak ketiga (guru atau ahli profesional) untuk membantu mengembalikan
anak ke kondisi normal, jika dirasakan perlu. Untuk itu bukalah mata dan hati
Anda sebagai orang tua. Jangan tabu untuk mendengarkan masukan pihak lain.
4. Amati perilaku
dan emosi anak anda, bahkan ketika kejadian bully yang ia alami sudah lama
berlalu (ingat bahwa biasanya korban menyimpan dendam dan potensial menjadi
pelaku di kemudian waktu). Bekerja samalah dengan pihak sekolah (guru).
5. Binalah
kedekatan dengan teman-teman anak anda. Cermati cerita mereka tentang anak
anda. Waspadai perubahan atau perilaku yang tidak biasa.
6. Minta bantuan
pihak ke tiga (guru atau ahli profesional) untuk menangani pelaku.
·
Pencegahan buat anak yang menjadi korban
bullying:
1. Bekali anak
dengan kemampuan untuk membela dirinya sendiri, terutama ketika tidak ada orang
dewasa/ guru/ orang tua yang berada di dekatnya. Ini berguna untuk pertahanan
diri anak dalam segala situasi mengancam atau berbahaya, tidak saja dalam kasus
bullying. Pertahanan diri ini dapat berbentuk fisik dan psikis.
Pertahanan diri Fisik : bela diri, berenang, kemampuan motorik yang baik (bersepeda, berlari), kesehatan yang prima.. Pertahanan diri Psikis : rasa percaya diri, berani, berakal sehat, kemampuan analisa sederhana, kemampuan melihat situasi (sederhana), kemampuan menyelesaikan masalah.
Pertahanan diri Fisik : bela diri, berenang, kemampuan motorik yang baik (bersepeda, berlari), kesehatan yang prima.. Pertahanan diri Psikis : rasa percaya diri, berani, berakal sehat, kemampuan analisa sederhana, kemampuan melihat situasi (sederhana), kemampuan menyelesaikan masalah.
2. Bekali anak
dengan kemampuan menghadapi beragam situasi tidak menyenangkan yang mungkin ia
alami dalam kehidupannya. Untuk itu, selain kemampuan mempertahankan diri
secara psikis. Maka yang diperlukan adalah kemampuan anak untuk bertoleransi
terhadap beragam kejadian. Sesekali membiarkan (namun tetap mendampingi) anak
merasakan kekecewaan, akan melatih toleransi dirinya.
3.
Walau anak sudah diajarkan untuk mempertahankan diri dan dibekali kemampuan
agar tidak menjadi korban tindak kekerasan, tetap beritahukan anak kemana ia
dapat melaporkan atau meminta pertolongan atas tindakan kekerasan yang ia alami
(bukan saja bullying).
4.
Upayakan anak mempunyai kemampuan sosialisasi
yang baik dengan sebaya atau dengan orang yang lebih tua. Dengan banyak
berteman, diharapkan anak tidak terpilih menjadi korban bullying karena :
a.
Kemungkinan ia sendiri berteman dengan pelaku, tanpa sadar bahwa temannya
pelaku bullying pada teman lainnya.
b.
Kemungkinan pelaku enggan memilih anak sebagai korban karena si anak
memiliki banyak teman yang mungkin sekali akan membela si anak.
c.
Sosialisasi yang baik dengan orang yang lebih tua, guru atau pengasuh atau
lainnya, akan memudahkan anak ketika ia mengadukan tindakan kekerasan yang ia
alami.
·
Penanganan buat anak yang menjadi pelaku
Bullying:
1. Segera ajak
anak bicara mengenai apa yang ia lakukan. Jelaskan bahwa tindakannya merugikan
diri dan orang lain. Upayakan bantuan dari tenaga ahlinya agar masalah
tertangani dengan baik dan selesai dengan tuntas.
2. Cari penyebab
anak melakukan hal tersebut. Penyebab menjadi penentu penanganan. Anak yang
menjadi pelaku karena rasa rendah diri tentu akan ditangani secara berbeda
dengan pelaku yang disebabkan oleh dendam karena pernah menjadi korban.Demikian
juga bila pelaku disebabkan oleh agresifitasnya yang berbeda.
3. Posisikan diri
untuk menolong anak dan bukan menghakimi anak.
Solusi lain:
·
Blaming the Victim
Masalah
bullying adalah masalah kita semua. Pemerintah, polisi, politisi, masyarakat,
guru, orang tua, dan siswa, mestinya memiliki kepedulian bersama dalam
menyelesaikan masalah bullying ini. Sayangnya, tidak sedikit orang yang
menganggap masalah bullying sebagai masalah pelajar itu sendiri. Karenanya,
mereka selalu menganggap pelajar sebagai biang masalah. Ini merupakan sikap dan
tindakan yang dikenal dengan blaming the victim (menyalahkan korban).
Blaming the
victim, makanya perlu dihindari. Karena bukannya menyelesaikan masalah,
melainkan menghindar dari masalah. Blaming the victim, merupakan wujud dari
ketidakmampuan (atau ketidakmauan?) seseorang dalam menyelesaikan masalah.
·
Dari Masalah ke Akar Masalah
Selain blaming
the victim, problem lain yang menghambat penyelesaian bullying adalah terpaku
kepada masalah, tanpa menyadari penyebab yang menjadi akar masalah. Padahal,
mengetahui dan menyelesaikan akar suatu masalah, merupakan salah satu teknik
problem solving yang jitu. Penyelesaian suatu kasus tanpa menyelesaikan akar
masalahnya akan sia-sia belaka. Kalaupun berhasil, sifatnya hanya sementara.
Setelah itu, tidak lama kemudian akan muncul lagi.
Khalifah Umar
bin Khattab, pernah mengajarkan teknik problem solving dengan berorientasi
kepada penyelesaian akar masalah. Konon suatu hari, seseorang dilaporkan kepada
Sang Khalifah karena telah mencuri. Si pelapor meminta kepada khalifah untuk
menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya kepada si pencuri. Khalifah Umar bin
Khattab tahu bahwa potong tangan merupakan sanksi bagi si pencuri. Tetapi,
beliau ternyata tidak menghukumnya, setelah tahu bahwa kelaparan dan paceklik
menjadi penyebab orang itu mencuri. Akhirnya si pencuri dibebaskan.
Selanjutnya, sebagai khalifah, dia berusaha untuk membuat program yang
mensejahterakan rakyatnya. Hasilnya, pencurian dan kriminalitas tidak lagi
terdengar di kalangan rakyatnya. Karena, kelaparan dan paceklik, yang menjadi
akar masalah, sudah diselesaikannya.
Apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab, perlu ditiru oleh
siapapun yang akan menyelesaikan masalah kekerasan di kalangan pelajar. Umar
bin Khattab tidak langsung menghukum si pencuri. Melalui otaknya yang jenius
serta hatinya yang tenang, beliau menangkap sinyal ketidakberesan di
tengah-tengah masyarakatnya.
Demikian juga
dalam menghadapi kasus bullying. Tidak cukup hanya menghukum para pelajar yang
melakukannya. Sebab, banyak faktor yang dapat dihubungkan sebagai akar masalah
yang menjadi penyebab terjadinya bullying.
Tidak heran,
jika banyak orang berpendapat bahwa menyelesaikan masalah bullying tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Karena akar masalahnya tidak tunggal;
banyak dan kompleks. Akan tetapi, walaupun rumit, kita perlu mencari jalan
keluarnya. Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surat Alam Nasyrah [94]: 5-6 menegaskan:
”Sesungguhnya di dalam kesulitan pasti ada kemudahan. Dan sesungguhnya di dalam
kesulitan pasti ada kemudahan”.
·
Komunikasi, Muara Solusi
Menyelesaikan
kasus bullying sesungguhnya bisa dimulai dengan cara membangun komunikasi yang
terbuka antara guru, orang tua dan murid. Selama ini, komunikasi di antara
mereka seringkali tidak berjalan dengan baik dan efektif. Orang tua, misalnya
jarang memberi perhatian terhadap anaknya, baik di rumah atau di sekolah.
Sementara itu, di sekolah, guru cenderung ingin didengarkan murid. Komunikasi
yang dibangun hanya satu arah. Tidak banyak guru yang memposisikan dirinya
sebagai fasilitator atau mitra berbagi dengan murid. Sedangkan murid-murid
lebih suka mengambil jalan sendiri, dan tidak tahu kepada siapa dia harus
berkomunikasi.
Oleh karena
itu, komunikasi sangat penting dalam membangun suasana yang sejuk dan damai.
Komunikasi menjadi semacam muara bagi solusi atas kasus-kasus kekerasan di
kalangan pelajar. Kesediaan semua pihak, terutama orang tua, guru dan murid,
untuk menjalin komunikasi yang positif, terbuka, dan jujur, akan membuka jalan
menuju solusi yang efektif dalam menyelesaikan kasus bullying.
·
Cara paling ideal untuk mencegah terjadinya
bullying :
Ø Mengajarkan
kemampuan asertif, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pendapat atau opini pada
orang lain dengan cara yang tepat. Hal ini termasuk kemampuan untuk mengatakan
TIDAK atas tekanan-tekanan yang didapatkan dari teman/pelaku bullying.
Ø Sekolah meningkatkan
kesadaran akan adanya perilaku bullying (tidak semua anak paham apakah
sebenarnya bullying itu) dan bahwa sekolah memiliki dan menjalankan kebijakan
anti bullying.
Ø Memutus
lingkaran konflik dan mendukung sikap bekerjasama antar anggota komunitas
sekolah, tidak hanya interaksi antar murid dalam level yang sama tapi juga dari
level yang berbeda.
·
Cara mencegah supaya anak tidak menjadi
pelaku bullying :
Perilaku ini
sebenarnya bisa dicegah jika sekolah dan orangtua memiliki pemahaman yang
menyeluruh mengenai anak. Kunci utama dari antisipasi masalah disiplin dan
bullying adalah hubungan yang baik dengan anak. Hubungan yang baik akan membuat
anak terbuka dan percaya bahwa setiap masalah yang dihadapinya akan bisa
diatasi dan bahwa orangtua dan guru akan selalu siap membantunya. Dari sinilah
anak kemudian belajar untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang tepat.
·
Cara bagaimana supaya anak tidak menjadi
korban bullying :
Hal ini
berkaitan erat dengan konsep diri anak. Jika anak memiliki konsep diri yang
baik, dalam arti mengenal betul kelebihan dan kekurangan dirinya, ia tidak akan
terganggu dengan tekanan-tekanan dari teman-teman atau pelaku bullying.
Biasanya jika korban atau calon korban tidak menggubris, pelaku bullying tidak
akan mendekatinya lagi. Yang penting juga adalah membekali anak dengan
keterampilan asertif, sehingga bisa memberikan pesan yang tepat pada pelaku
bahwa dirinya bukan pihak yang bisa dijadikan korban.
Pencegahan
Bullying Secara Preventif :
1. Sosialisasi
antibullying kepada siswa, guru, orang tua siswa, dan segenap civitas akademika
di sekolah.
2. Penerapan
aturan di sekolah yang mengakomodasi aspek antibullying.
3. Membuat aturan
antibullying yang disepakati oleh siswa, guru, institusi sekolah dan semua
civitas akademika institusi pendidikan/ sekolah.
4. Penegakan
aturan/sanksi/disiplin sesuai kesepakatan institusi sekolah dan siswa, guru dan
sekolah, serta orang tua dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur pemberian
sanksi.
5. Membangun
komunikasi dan interaksi antarcivitas akademika
Solusi Ketika Telah Terjadi Bullying:
1. Pendekatan
persuasive, personal, melalui teman (peer coaching).
2. Penegakan
aturan/sanksi/disiplin sesuai kesepakatan institusi sekolah dan siswa, guru dan
sekolah, serta orang tua dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur pemberian
sanksi, lebih ditekankan pada penegakan sanksi humanis dan pengabdian kepada
masyarakat (student service).
3. Dilakukan
komunikasi dan interaksi antar pihak pelaku dan korban, serta orangtua.
4. Ekspose media
yang memberikan penekanan munculnya efek negatif terhadap perbuatan bullying
sehingga menjadi pembelajaran bagi semua pihak agar tidak melakukan perbuatan
serupa.
Post a Comment
Post a Comment