ANALISIS KONFLIK
PADA PERUSAHAAN
PT DRYDOCK WORLD
GRAHA DIBATAM
Disusun oleh :
1. A
2. B
3. C
4. D
5. E
6. F
SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN GAK ROH
DINAS PENDIDIKAN
PEMUDA DAN OLAH RAGA
KECAMATAN BANGILAN
KABUPATEN TUBAN
2016
ANALISIS KONFLIK
PADA PERUSAHAAN
PT DRYDOCK WORLD
GRAHA DIBATAM
1. PEMAPARAN
Pada tanggal 22 April 2010, ribuan
karyawan sebuah perusahaan galangan kapal, PT Drydocks World Graha yang
berlokasi di Tanjung Udang, Batam, turun untuk berdemonstrasi dan melakukan
aksi pembakaran terhadap fasilitas perusahaan. Media memberitakan paling tidak
9 orang terluka dan puluhan mobil dibakar. Konflik bermula dari umpatan seorang
supervisor asal India yang mengatakan bahwa orang Indonesia “stupid” kepada
tenaga kerja Indonesia. Tetapi pemicu dari kerusuhan ini tidak hanya itu saja,
akumulasi dari rasa kesal terhadap pembedaan dalam gaji dan fasilitas antara
tenaga kerja Indonesia dan tenaga kerja asing merupakan faktor terjadinya
konflik.
Selain itu, dalam wawancara dengan
beberapa karyawan PT. Drydocks, diketahui bahwa perusahaan ini tidak menerapkan
undang-undang yang mengatur dengan jelas perekrutan tenaga kerja oleh Investasi
Asing di Indonesia. Selain itu sistem kerja yang diantaranya meliputi sistem
pengupahan yang dimuat pada Pasal 45 Huruf a UU Ketenagakerjaan No 13/2003
tidak diterapkan. Pasal ini mengatur bahwa pemberi tenaga kerja asing
(perusahaan) wajib menunjuk tenaga kerja Indonesia sebagai tenaga pendamping
untuk alih teknologi dan alih keahlian. Sementara Pasal 45 Huruf b menyebutkan,
pemberi tenaga kerja asing wajib melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja
bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki
tenaga kerja asing tersebut. Pada perusahaan Drydocks ini, tenaga kerja asing
tidak didampingi asisten lokal. Kalaupun didampingi, tenaga kerja asing tidak
melakukan alih teknologi apa pun. Sehingga, pengabaian terhadap pasal dalam UU
ketenagakerjaan ini juga menjadi salah satu pemicu konflik di perusahaan
ini.
Menurut data dari Kementrian tenaga
kerja dan transmigrasi pada tahun 2009, jumah Tenaga Kerja Asing di Indonesia
kurang lebih 90.000 orang banyak yang berasal dari Cina, Jepang, Korea, India,
dan negara-negara lainnya. Dengan semakin meningkatnya arus tenaga kerja asing
ke Indonesia, maka situasi-situasi multinasional atau multikultural yang rawan
terhadap konflik akan semakin banyak tercipta (Dian, 1998). Karena konflik yang
terjadi dalam organisasi, menurut Greenberg & Baron (dalam Dian, 1998)
selain dapat memiliki konsekuensi yang positif, juga dapat memiliki konsekuensi
yang negatif. Konsekuensi yang positif berupa terdorongnya kreatifitas,
disiplin, semangat kerja, kemampuan adaptasi, dan hal-hal yang dapat mendorong
kemajuan organisasi.
Sedangkan konsekuensi yang negatif
adalah menurunnya produktifitas, melemahnya semangat kerja, meningkatnya rasa
tidak puas dan juga meningkatnya ketegangan dalam organisasi. Pada kasus PT.
Drydocks ini, konsekuensi negatifnya berbuntut menjadi kerusuhan dan
berhentinya produktifitas perusahaan. Kasus ini menjadi menarik karena selain
menjadi pemberitaan besar di media massa, kasus ini juga membuka mata
masyarakat akan fenomena tenaga kerja Indonesia di negerinya sendiri.
Pada makalah ini, kami akan menganalisa
kasus ini berdasarkan perspektif teori konflik bila dikaitkan dengan kerusuhan
di PT. Drydocks World Batam. Lebih lanjut kami akan menganalisa faktor-faktor
apa saja yang menjadi penyebab terjadinya konflik antara tenaga kerja asing dan
tenaga kerja indonesia di perusahaan ini dan bagaimana kecenderungan gaya penanganan
konflik yang diterapkan oleh PT. Drydocks dalam mengatasi konflik ini. Sehingga
diharapkan, kasus ini dapat membuka mata kita akan dinamika konflik dalam
organisasi dan penangulangannya.
Konflik merupakan sesuatu yang wajar
terjadi karena dalam suatu organisasi masing-masing individu memiliki
perbedaan. Robins & Judge (2008) mendefinisikan konflik sebagai sebuah
proses yang dimulai ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah
memengaruhi secara negatif, atau akan mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang
menjadi perhatian dan kepentingan pihak pertama
Pertentangan yang terjadi antara apa yang diharapkan oleh seseorang terhadap orang lain atau organisasi dengan kenyataan apa yang didapatkan dapat menimbulkan konflik. Selain itu, Daniel Webster (dalam Pickering, 2006) menyatakan bahwa konflik adalah:
• Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain
• Keadaan atau perilaku yang bertentangan (misal: pertentangan pendapat, kepentingan atau pertentangan antar individu).
• Perselisihan akibat kebutuhan, dorongan, keinginan atau tuntutan yang bertentangan
• Perseteruan
Pertentangan sangat mungkin terjadi
karena setiap orang dalam suatu organisasi memiliki pandangan yang berbeda atas
tugas dan tanggung jawab masing-masing. Ketika mereka berinteraksi maka konflik
menjadi potensial untuk muncul. Konflik dalam organisai dapat menimbulkan
konsekuensi positif dan negatif. Konflik positif dapat mendorong inovasi
organisasi, kreativitas dan adaptasi. Sedangkan konflik yang sering muncul ke
permukaan adalah konflik yang bersifat disfungsional. Konflik seperti inilah
yang dapat menurunkan produktivitas, menimbulkan ketidakpuasan, meningkatkan
ketegangan dan stress dalam organisasi (Gitosudarmo & Sudita, 2000).
Konfik yang menjadi kerusuhan di PT.
Drydocks World Graha yang berlokasi di Batam terjadi pada tanggal 22 april
2010. Pada kerusuhan ini, setidaknya 8.000 pekerja Indonesia melakukan
demonstrasi dan pengrusakan fasilitas. Selain kantor dan gudang yang dibakar,
puluhan mobil juga dibakar. Tak ada korban tewas, tapi setidaknya sembilan
orang terluka dengan lima warga asing dan empat karyawan.
Kerusuhan ini dipicu karena seorang
pengawas asal India di PT Drydocks World Graha yang memaki pekerja asal
Indonesia dengan kata-kata ”stupid” (bodoh). Kemudian, karyawan lainnya
mengeroyok pengawas ini, dan melakukan pengejaran kepada pekerja WNA lainnya.
Konflik ini merupakan akumulasi dari persepsi pekerja WNI terhadap perbedaan
perilaku perusahaan dengan pekerja WNA.
Menurut Presiden Federasi Serikat
Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Said Ikbal, selama ini pekerja di galangan
kapal harus memenuhi alat keselamatan kerjanya dengan dana mereka sendiri, upah
mereka juga murah dan dipotong oleh agen karena sebagian adalah pekerja outsourcing
dan tidak ada jaminan kesehatan. FSPMI, yang membawahi sekitar lima ribu buruh
di salah satu anak perusahaan Drydock di Batam meminta ada perbaikan sistem
kerja yang ada di perusahaan tersebut.
Selain itu, berdasarkan wawancara
dengan karyawan PT.Drydocks, bahkan tidak ada satu orangpun, WNI yang menjadi
staf tinggi di perusahaan tersebut. Dalam wawancara tersebut, buruh PT Drydocks
World Graha mengemukakan bahwa Diskriminasi terhadap buruh Indonesia
jelas-jelas dirasakan. Diskriminasi itu, antara lain, terjadi pada gaji dan
fasilitas.
Untuk level yang sama, gaji dan
fasilitas yang diterima buruh ekspatriat selalu lebih baik daripada buruh
Indonesia. Mandor perusahaan galangan kapal, misalnya, jika posisi itu
ditempati buruh ekspatriat, yang bersangkutan akan mendapat fasilitas tempat
tinggal dan sejumlah kebutuhan bulanan, seperti sabun cuci.
Fasilitas seperti ini tidak akan
didapatkan buruh Indonesia. Soal gaji pada level penyelia dengan ijazah sarjana
(S-1), bagi buruh Indonesia sekitar Rp 1,2 juta sampai Rp 1,5 juta per bulan.
Sementara buruh asing bisa mendapatkan gaji 10 kali lipatnya dan juga tidak
sedikit buruh asing yang bekerja di level mandor sampai penyelia yang tidak
sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
Hal ini juga diungkapkan Ketua Kelompok
Kerja Ketenagakerjaan Komisi IX DPR RI, Arif Minardi. Arif juga mengemukakan
terdapat perbedaan yang mencolok di antara tiga komisi, tenaga asing, tenaga
tetap, dan yang dikontrak," usai menelusuri fakta kerusuhan Drydocks
World. Dalam level pekerjaan yang sama, TKA digaji dengan standar dolar
Singapura, sedang pekerja tetap Indonesia menggunakan rupiah yang nilainya di
bawah TKA.
Perbandingan gaji TKA dengan pekerja
lokal dalam level yang sama sangat jauh. Gaji TKA, minimal 4.500 dolar Singapura
(sekitar Rp30.000.000) , sedang pekerja Indonesia, yang sudah berpengalaman
lima tahun, hanya diberi upah Rp5-7 juta.
Ketua PUK Federasi Serikat Pekerja
Metal Indonesia dalam Kompas (21/04/2010), Nanindah Anggun Hidayatullah juga
mengatakan bahwa buruh Indonesia mayoritas ditempatkan di bagian pesuruh dan
pertukangan sedangkan level mandor dan penyelia sebagian diisi buruh asing.
Padahal, kalau mau jujur, orang Indonesia juga mampu mengisi semua (level)
itu,” ujarnya. Selain itu, dalam konteks penanaman modal asing, alih teknologi
sebagaimana disyaratkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003
ternyata juga banyak tidak direalisasikan.
Menurut Pasal 45 Huruf a UU
Ketenagakerjaan No 13/2003, pemberi tenaga kerja asing wajib menunjuk tenaga kerja
Indonesia sebagai tenaga pendamping untuk alih teknologi dan alih keahlian.
Sementara Pasal 45 Huruf b menyebutkan, pemberi tenaga kerja asing wajib
melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai
dengan kualifikasi jabatan yang diduduki tenaga kerja asing tersebut.
Terkait pasal itu, sejumlah buruh
menyatakan, banyak perusahaan galangan kapal di Batam yang tidak merealisasikan
hal itu. Umumnya, tenaga kerja asing tidak didampingi asisten lokal. Kalaupun
didampingi, tenaga kerja asing tidak melakukan alih teknologi apa pun.
Sementara itu, pekerja kontrak dibayar
per jam, yang nilainya relatif kecil karena terpotong-potong. Subkontraktor
menurunkan lagi pekerjaan ke subkontraktor lain, yang bisa sampai sembilan kali
sub, sehingga membuat nilai upah pekerja semakin kecil karena dipotong untuk
subkontraktor.Tenaga kerja tetap mendapatkan fasilitas pengamanan pekerjaan
yang bagus, sedangkan karyawan kontrak harus melengkapi keselamatan diri
sendiri.
(sumber dirangkum dari beberapa media cetak, wawancara dengan karyawan PT. Drydocks dan website).
(sumber dirangkum dari beberapa media cetak, wawancara dengan karyawan PT. Drydocks dan website).
2. IV.Analisa Kasus
Kasus ini dapat dikategorikan sebagai
intergroup conflict, dimana ada konflik terjadi didalam organisasi antara
Tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja asing, dan juga tenaga kerja
Indonesia dengan PT.Drydocks. Konflik yang terjadi merupakan konflik horizontal
antara sesama tenaga kerja dan juga konflik vertikal, yaitu antara tenaga kerja
Indonesia dengan PT.Drydocks.
Pada awal proses terjadinya konflik,
tahap pertama yang terjadi adalah potensi pertentangan atau ketidakselarasan.
Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah perbedaan gaji antara tenaga kerja
Indonesia dan Asing yang jauh sekali, perbedaan fasilitas, tunjangan-tunjangan
dan pemotongan gaji oleh outsource. Menurut Robbins (2008), kondisi-kondisi
tersebut dipadatkan dalam tiga kategori umum yaitu:
1. Komunikasi
Dalam kasus ini yang menjadi sumber
konflik yang diekspos oleh media adalah pernyataan dari Seorang Supervisor
berkebangsaan India pada perusahaan Drydocks yang berbau SARA yang menyatakan
bahwa orang indonesia ‘‘stupid“. Namun sumber konflik yang sebenarnya terjadi
bukan hanya menyangkut isu SARA, melainkan adanya permasalahan dalam
komunikasi. Permasalahan dalam komunikasi juga dapat dilihat ketika mereka
jarang bekerja sama dan berbaur satu sama lainnya seperti yang dikemukakan oleh
AB ( wawancara dengan karyawan PT.Drydocks). Masing-masing dari mereka lebih
senang berkumpul dan berkomunikasi dengan komunitas asal negara mereka
sendiri-sendiri. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh McShane (2005)
bahwa permasalahan komunikasi bisa menjadi sumber konflik.
McShane (2005) juga mengemukakan bahwa
kecenderungan merasa tidak nyaman atau canggung untuk berinteraksi dengan orang
atau individu yang berasal dari budaya yang berbeda membuat mereka cenderung
menggunakan stereotip untuk mengisi kurangnya informasi yang didapat.
Supervisor berkebangsaan India ini menggunakan stereotip dalam menilai
bawahannya yang merupakan tenaga kerja Indonesia.
Kalimat ”Indonesian Stupid” ini
digeneralisasi oleh karyawan lainnya seperti yang dikemukakan dalam salah satu
wawancara kami dengan satu karyawan PT. Drydocks. Karyawan ini mengemukakan
bahwa ia merasa harga dirinya sebagai bangsa Indonesia terinjak-injak yang juga
disetujui oleh rekan-rekan sekerjanya. Dapat dilihat bahwa sumber konflik yang
ada juga merupakan adanya perbedaan nilai dan keyakinan diantara mereka.
Menurut Tenaga kerja asing, berkata dengan kalimat makian pada satu negara
adalah hal yang biasa, tapi bagi orang Indonesia bisa menjadi hal yang
diperbesar dan digeneralisasi.
2. Struktur
Konflik antara TKA dan TKI ini bersifat
struktural karena mencakup variabel-variabel seperti kadar spesialisasi dalam
tugas-tugas yang diberikan dalam organisasi, kejelasan yurisdikasi, keserasian
antara anggota dengan tujuan, sistem imbalan dan gaya kepimpinanan.
Dapat dilihat wawancara dengan beberapa
karyawan PT.Drydock bahwa sebagian besar dari mereka adalah karyawan kontrak
yang berasal dari outsourcing. Mereka baru akan diangkat menjadi karyawan tetap
setelah tiga tahun bekerja, tetapi tidak selalu begitu. Kadang beberapa orang
karyawan terus diperpanjang kontraknya sehingga tidak jelas yurisdikasinya.
Pada level pekerjaan yang sama, sistem
imbalan yang tidak seimbang menyebabkan sumber konflik yang besar. Menurut
Robbins (2008), ketika perolehan suatu kelompok dipandang merugikan kelompok
lain, maka akan terjadi potensi pertikaian yang tinggi. Selain itu, diketahui
bahwa tidak ada perwakilan Orang Indonesia dalam staf tinggi PT.Drydocks yang
berlokasi di Graha ataupun di dua tempat lainnya di Batam. Sehingga, gaya
kepimpinan yang digunakan oleh PT.Drydocks yang cenderung kepada suatu kelompok
juga memperbesar potensi konflik.
3. VARIABEL
PRIBADI
Pada wawancara dengan Dosen Psikologi
Industri dan Organisasi Universitas Indonesia, Drs. Iman Sukhirman, M. Si bahwa
perbedaan nilai dan keyakinan dalam suatu perusahaan yang dibawa oleh
masing-masing individu dari latar belakang dan pengalaman yang berbeda dapat
menjadi sumber konflik, oleh karena itu diperlukan adanya kesamaan pandangan
agar masing-masing tidak membawa nilai dan keyakinannya masing-masing, tetapi
merasa sebagai satu kesatuan.
Terjadinya kerusuhan tersebut juga
disebabkan karena adanya ketidakmatangan intelektual, emosi dan spiritual
quotient yang dimiliki tenaga kerja indonesia itu sendiri. Ketiga hal ini
termasuk ke dalam faktor penyebab terjadinya konflik yang berasal dari
variabel-variabel pribadi.
Menurut beliau, tenaga kerja indonesia
hanya disuruh bekerja saja, tanpa dibekali ketiga kemampuan tersebut. Sehingga
dalam menghadapi konflik, mereka tidak bisa berpikir, bertindak dan berperilaku
jernih tetapi langsung meresponnya dengan sikap impulsif, agresi, dan merusak
dengan membakar ‘‘lumbung‘‘ yang merupakan mata pencaharian mereka.
Hal yang sebaiknya dilakukan bukan
dengan cara kekerasan, namun harus menggunakan akal pikiran untuk mengatasi
konflik. Kalaupun mereka marah, setidaknya kemarahan mereka ditunjukkan dengan
cara yang lebih intelektual yaitu lewat jalur hukum. Untuk menyeret bos india
ke jalur hukum harus menggunakan akal dan strategi seperti dengan menyiapkan
voice recorder, kemudian memancing supervisor berkebangsaan india tersebut
untuk mengeluarkan pernyataan yang menghina dan merekamnya sudah cukup bisa
dijadikan cukup bukti. Dengan demikian, keadilan pun akan berpihak pada mereka
dengan dikeluarkannya supervisor india tersebut dari perusahaan tanpa harus
merusak pabrik yang sudah jelas merupakan sumber mata pencaharian mereka.
Kemudian beliau melanjutkan
pernyataannya dengan memberikan analogi kasus demonstrasi karyawan di salah
satu perusahaan di Jepang yang menuntut kenaikan gaji, karena dianggap gaji
mereka sudah tidak sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang diminta perusahaan.
Karyawan perusahaan tersebut melakukan demonstrasi berupa mogok kerja hanya
pada hari dan jam-jam tertentu. Kerugian mogok kerja yang dilakukan setiap hari
tertentu dan hanya selama 2-3 jam tersebut di hitung perusahaan mengalami
kerugian milyaran rupiah. Pihak perusahaan kewalahan, karena karyawan tidak
melakukan tindakan anarkis, sehingga pihak perusahaan tidak bisa melakukan
apa-apa selain bernegosiasi tawar-menawar dalam menyelesaikan masalah untuk
mencari kesepakatan bersama antara kedua belah pihak (antara perusahaan dan
karyawan).
Jika kondisi dalam tahap I jelas mempengaruhi terjadinya konfik maka tahap kedua yang terjadi adalah konflik yang dipersepsi dan dipersonalisasi.
Jika kondisi dalam tahap I jelas mempengaruhi terjadinya konfik maka tahap kedua yang terjadi adalah konflik yang dipersepsi dan dipersonalisasi.
Dapat dilihat pada beberapa pernyataan
dari karyawan PT. Drydocks ini antara lain:
’’ Siapa yang gak marah, mba.. coba
deh, gaji saya sama ma Mr. X (seorang India) yang jelas-jelas pekerjaannya sama
jadi marker. Pendidikan saya malah lebih tinggi dari dia, cuman mang dia bahasa
Inggrisnya bagus aja. Selama saya kerja dari awal disitu, saya dikontrak terus
gak jadi karyawan tetap. Gak tau sampai kapan saya kerja kayak gini kalo
perlakuannya“
B: ‚’’ Rasanya mau saya injek-injek tuh para India ma orang singapur itu mba.. kesel saya ma orang itu. Nasionalisme saya rasanya uuuuu.. mau tercabik-cabik pas dengan orang Indon itu stupid..“
B: ‚’’ Rasanya mau saya injek-injek tuh para India ma orang singapur itu mba.. kesel saya ma orang itu. Nasionalisme saya rasanya uuuuu.. mau tercabik-cabik pas dengan orang Indon itu stupid..“
Sehingga dapat dilihat bahwa konflik
ini telah dipersepsi oeh mereka secara emosional, dan merasakan kecemasan,
tegang, frustasi dan rasa bermusuhan. Emosi memainkan peranan utama dalam
membangun persepsi sehingga emosi negatif yang tercipta dapat menurunkan
kepercayaan dan interpretasi negatif atas perilaku TKA.
Kemudian tahap ketiga adalah Maksud
(Intentions), adalah tahap dimana mereka memutuskan untuk bertindak tertentu.
Dapat dilihat disini setelah sekian lama bahwa TKI tidak bekerja sama,
akomodatif dan kompromis pada TKA lagi. Pada awalnya, TKI melakukan tindakan
avoding(menghindar) konflik dan mengakomodasi kepentingan TKA. Tapi
kemudian,tindakan ini menjadi persaingan dengan cara menjatuhkan kepentingan
salah satu diantaranya. Dalam hal persaingan untuk mendapatkan tujuannya yaitu
perlakuan adil dalam berbagai aspek oleh PT.Drydocks.
Tahap keempat adalah Perilaku yang
meliputi pernyataan, aksi, dan reaksi yang dibuat oleh masing-masing pihak. Upaya
kasat mata untuk mengoperasikan maksud dari masing-masing pihak adalah mulai
dari kesalahpahaman kecil dalam hubungan antarpribadi karyawan, terang-terangan
menentang, serangan verbal secara kasar seperti yang dilakukan oleh supervisor
India tadi, ancaman untuk membunuh supervisor tadi dan ultimatum untuk mengusir
para TKA yang berlangsung cepat sesaat setelah serangan verbal, kemudian sampai
ke serangan fisik secara agresif. Serangan fisik secara agresif ini ditujukan
pada TKA yang kemudian terluka, mobil-mobil yang dibakar, gudang dan
infrastruktur lainnya yang dirusak.
Sehingga yang terjadi pada tahap kelima
adalah akibat disfungsional yaitu suatu konsekuensi destruktif dari konflik.
Sampai akhir April 2010, 70% PT.Drydocks Graha baru bisa beroperasi dikarenakan
infrastruktur yang sempat rusak dan tidak memungkinkan karyawan untuk bekerja
dalam beberapa hari dan menyebabkan kerugian yang cukup besar. Denis Welch
selaku Chief executive officer dari Drydocks-World South Asia kemudian membuat
statemen terhadap apa yang terjadi di Drydocks kepada Pers dan menjelaskan
kepada DPR-RI.
Sampai saat ini, berita yang masih
terdengar adalah mediasi Pemerintah dalam hal ini Kementerian tenaga kerja dan
transmigrasi sebagai pihak ketiga yang menengahi kasus ini. Menurut beberapa
karyawan PT.Drydocks Graha, negosiasi yang mereka inginkan adalah satu
penyelesaian yang dapat menciptakan solusi menang-menang. Negosiasi ini disebut
negosiasi integratif yang ditujukan untuk menjaga fleksibelitas. Mereka ingin
PT.Drydocks ditegur dan diawasi pemerintah dalam menjalankan UU tenaga kerja
yang sebenar-benarnya. Melalui Serikat Pekerja Metal Indonesia, diharapkan
aspirasi mereka tersampaikan. Mereka juga mengemukakan bahwa mereka ingin
kondisi yang nyaman untuk bisa bekerja dengan baik, dihargai dan diperlakukan
baik di negeri mereka sendiri.
Menakertrans juga mengupayakan agar
para TKA harus mengerti budaya Indonesia dan menghargainya. Cara yang digunakan
adalah dengan kembali menyebarkan informasi melalui spanduk-spanduk,
pamflet-pamflet untuk mengajak TKA untuk berlaku menghargai Indonesia dan
bersama-sama mencapai kedamaian. Menakertrans juga menghimbau untuk memperbaiki
komunikasi dan saling memahami. PT.Drydocks juga diminta untuk meninjau ulang
kebijakan dalam sistem outsourcingnya, sistem gaji antara TKA dan TKI, sistem
karyawan kontrak untuk tenaga kerja asing, dan fasilitas dan tunjangan lainnya
yang selama ini dibedakan. Sehingga dapat mengurangi kecemburuan diantara pihak
ini. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh McShane (2005) bahwa
pendekatan untuk manajemen konflik dapat berupa Reducing differentition,
improving communication and understanding, dan clariflying rules and
procedures.
Sampai saat ini, belum ada berita dari
proses negosiasi diantara pihak-pihak internal PT.Drydocks ini sehingga kami
belum bisa menganalisa lebih lanjut tentang kondisi lanjutan pasca kerusuhan 22
April ini.
KESIMPULAN
a.
Konflik sering terjadi pada kondisi
kerja multikultural dikarenakan adanya pembedaan dan masalah komunikasi
diantara karyawan baik horizontal maupun vertikal.
b.
Konfllik meningkat ketika terjadi
perbedaan nilai dan keyakinan, dan variabel pribadi yang memungkinkan untuk
cepat terespon dengan pemicu konflik.
c.
Managemen konflik sangat diperlukan
unuk meminimalisir konsekuensi disfungsional dari konflik. Dalam hal ini,
kepentingan dari berbagai pihak harus dipertimbangkan sehingga tercipta kondisi
yang fungsional.
d.
Untuk mencapai kondisi yang fungsional,
diperlukan adanya resolusi konflik yang dapat membantu mengembalikan fungsi
organisai yaitu dengan cara mengurangi perbedaan, memperbaiki komunikasi dan
pemahaman dan mengklarifikasi peran dan prosedur.
SARAN
a. Untuk meminimalisir konflik yang destruktif, PT.Drydocks harus
memperhatikan perbedaan kultur diantara karyawannya dan kemudian memutuskan
cara pendekatan seperti apa yang sesuai untuk menciptakan kondisi yang baik
untuk kepentingan perusahaan.
b. Tenaga Kerja Indonesia harus memiliki posisi negosiasi yang kuat untuk
tetap memenangkan keinginannya. Untuk itu diperlukan strategi negosiasi yang
kuat dan cerdas agar bisa memecahkan konflik yang ada.
c. Pemerintah harus memperkuat pengawasannya terhadap perusahaan yang
memperkejakan tenaga kerja asing. Dan memastikan apakah perusahaan ini telah
melaksanakan UU tenaga kerja dengan baik.
d. Tenaga Kerja Asing juga harus memahami budaya dimana ia bekerja dan
berusaha untuk membuka komunikasi yang baik, sehingga meminimalisir
prasangka.
DAFTAR PUSTAKA
Gitosudarmo Indriyo Drs., M.Com.
(Hons)., & Drs. I. Nyoman Sudita, M.M. (2000). Perilaku Keorganisasian
Edisi (cetakan kedua). Penerbit BPFP Yogyakarta.
Liliweli Alo Prof. DR. M. S. (2006).
Prasangka dan Konflik. Penerbit LKiS Yogyakarta.
McShane, S.L., & Von Glinow, M.A.
(2005). Organizational Behavior, Emerging Knowledge and Practice for the Real
World. Boston: McGraw-Hill Irwin.
Pickering, Peg. (2006). How to Manage
Conflict (Kiat Menangani Konflik). Penerbit Erlangga. Indonesia.
Robbins P Stephen & Judge A
Timothy. (2008). Perilaku Organisasi Edisi 12 (Buku 2). Penerbit Salemba Empat.
Jakarta.
Ruky Tresnawardhani Dian. (1998).
Skripsi : Persepsi Terhadap Konflik, Sumber-Sumber Konflik Antar TKI-TKA Dalam
Organisasi dan Gaya Penanganan Konflik Pada Manajer Indonesia. Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia. Depok
adien.student.umm.ac.id/2010/02/11/teori-konflik/
KOMPAS, Selasa, 21/04/2010
http://naninukreasih.blogspot.co.id/2010/09/analisis-konflik-pada-perusahaan-pt.html
apa nih gak ngerti :v
ReplyDelete